Tokoh inspiratif kita kali ini adalah seorang intelek yang pemulung, Wahyudin.
Bagi umat Islam, Ilmu menjadi syarat, sah atau tidaknya sebuah amal dan bahkan ilmu menempati posisi teratas sebelum iman. Seorang muslim mungkin tidak akan beriman terhadap Alloh ta'ala penciptanya dan alam semesta sebelum diberitahu oleh orang2 yang memiliki ilmu atau a'lim kalau tidak melalui membaca,(misal) dengan cara merenung, berpikir atas kejadian alam disekitarnya sebagai bentuk kekuasaan tuhan
.
Wahyu yang pertama turun berisi ayat yang mengintruksikan kepada nabi
Muhammad agar mencari ilmu dg cara membaca dalam surah al-Alaq,itu
berarti Ilmu menempati posisi paling atas sebelum keimanan seorang
muslim. Menuntut ilmu hukumnya wajib. Nabi bersabda:
"Menuntut ilmu wajib atas tiap muslim (baik muslimin maupun
muslimah)" (HR. Ibnu Majah). Nabi juga bersabda: Jika ingin bahagia di
dunia maka carilah ilmunya, Jika ingin bahagia diakherat, maka carilah
ilmunya.Jika ingin mendapatkan keduanya, maka carilah ilmunya.
Dua cara untuk mendapatkan ilmu ialah dengan cara membaca atau lewat pendidikan.
Membaca adalah suatu proses mentransfer informasi yang
berupa tulisan-tulisan atau apapun yang nampak dan terlihat oleh mata ke dalam pikiran dan terolah secara otomatis
menjadi sebuah Pengetahuan/Ilmu, sedangkan Pendidikan ialah proses pengubahan sikap atau prilaku seseorang atau sekelompok orang dalam upaya mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan yang ada dilembaga2 pendidikan seperti yang dilakukan oleh Wahyudin, seorang pemulung yang intelek. Berikut ceritanya;
Sepuluh tahun lalu, Wahyudin kecil memulai harinya dengan berjalan
kaki menyusuri Jalan Alternatif Cibubur. Ditemani tetangganya, yang
dipanggilnya Bibi Ani, sulung dari tiga bersaudara itu berangkat sekitar
pukul 01.00 untuk memunguti sampah.
Bocah yang masih duduk di
kelas IV Sekolah Dasar itu pun 'resmi' menjadi pemulung. Sejak itu,
Wahyudin menjadi perbincangan para tetangga di sekitar tempat
tinggalnya, Kampung Kalimanggis Gang Lame RT1/4, Jatikarya,
Jatisampurna, Kota Bekasi.
Namun, sepuluh tahun kemudian,
pekerjaannya menjadi pemulung telah membawanya hampir menyelesaikan
pendidikan hingga tingkat sarjana. "Saya sekarang sedang skripsi, tapi
pekerjaan memulung belum saya tinggalkan. Itu salah satu cara saya
membiayai kuliah," kata Wahyudin (21) yang kini masih tercatat sebagai
mahasiswa Fakultas Ekonomi Jurusan Akutansi, Universitas Muhammadiyah
Prof Dr Hamka (Uhamka), Pasar Rebo, Jakarta Timur.
Ditemui Warta
Kota (Grup TRIBUNnews.com), Jumat (1/3/2013), Wahyudin menuturkan bahwa
awalnya dia heran melihat Bibi Ani, tetangganya itu, menumpuk kardus dan
plastik sampah di rumahnya. Padahal menurutnya barang-barang itu sudah
tak berguna karena dibuang orang. "Bi Ani bilang, jangan salah menilai.
Sampah itu bagi orang lain memang sudah tidak berguna, tapi masih bisa
jadi uang. Kalau mau terus sekolah, ayo ikut saja memulung," kata
Wahyudin mengulang ajakan Bibi Ani.
Tanpa pikir panjang, dia
minta ikut menjadi pemulung bersama Jeri, anak lelaki Bibi Ani. Tekad
Wahyudin didorong kondisi ekonomi keluarganya yang pas-pasan. Saat itu
dia sudah merasa tak akan sanggup melanjutkan sekolah hingga jenjang
yang lebih tinggi. Bapaknya, Mija (55), punya dua istri.
Dari
istri pertama, Mija memiliki 5 anak. Wahyudin adalah anak sulung dari
tiga bersaudara yang lahir dari Fatmawati (38), istri kedua Mija. Mija
bekerja serabutan, dari menggarap lahan milik orang, sampai kini menjadi
tukang ojek. Jangankan memikirkan biaya sekolah, untuk mencukupi
kebutuhan sehari-hari saja kelimpungan.
"Saya nggak kepengin
seperti kakak-kakak saya yang putus sekolah. Awalnya banyak yang
mencibir, mungkin mereka menganggap pemulung sama halnya dengan orang
yang panjang tangan. Kesininya, saya cuek, karena yakin ini pekerjaan
halal dan tidak merugikan orang lain," kata Wahyudin.
Rupanya
menjadi pemulung menguras waktu Wahyudin. Sejak sekitar pukul 01.00, dia
sudah menyusuri Jalan Alternatif Cibubur. Pukul 02.30, dia mulai masuk
Perumahan Taman Laguna sampai menjelang subuh. Siang hari, usai sekolah,
dia mengulangi rutenya itu. Karena sering kecapekan, dia jadi tak
sempat belajar. Wahyudin cari akal, dia buat tas sendiri dari kantung
plastik agar bisa membawa buku pelajaran kemana pun dia memulung.
Di
sela istirahat, dia mempelajari buku-buku itu. Dia juga membeli
beberapa anak ayam untuk dipelihara. Hasil penjualan ayam itu kemudian
ditabung untuk biaya masuk SMPN 28 Bekasi. Selama SMP dia terus memulung
agar bisa mengantongi uang jajan dan membayar SPP.
Dia terbantu
saat neneknya memberinya sepasang anak kambing untuk diternakkan.
Dijualnya kambing itu untuk biaya masuk SMAN 7 Kota Bekasi. Selama SMA,
kegiatan memulung sedikit berkurang. Itu karena dia berjualan gorengan
keliling kampung dan perumahan. Khawatir tak bisa mewujudkan mimpinya
untuk kuliah, dia kembali giat memulung saat libur sekolah. Sehari bisa
Rp30 ribu-Rp50 ribu diperolehnya. Dia menyisihkan Rp300 ribu-Rp500 ribu
per bulan untuk ditabung.
Menjelang kelulusan, Wahyudin kian
gusar. Tabungannya ternyata tak cukup buat ongkos kuliah. Mimpi
melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi digambarkan dan dituliskannya
di atas kertas. Kemudian ditempelkannya 'kertas mimpi' itu di tembok
kamar. "Saya terus berdo'a, saya yakin Allah mengabulkan keinginan saya
untuk kuliah," kata Wahyudin.
Laksana jawaban atas doa yang
diucapkannya, pertolongan itu datang juga. Beberapa tetangga yang
mengenalnya mengulurkan bantuan untuk mencukupi biaya kuliahnya. Meski
sudah kuliah, masih tetap memulung. Dia juga terbantu karena mendapatkan
beasiswa. Beberapa teman kuliahnya awalnya tak menyangka dia selama ini
menjadi pemulung. "Mereka tahu setelah main ke rumah. Ternyata di rumah
masih banyak tumpukan sampah kardus dan plastik. Tapi mereka bisa
menerima," ujar Wahyudin.
Di sela kegiatan kuliah serta mencari
penghasilan sebagai pemulung dan penjaja gorengan, Wahyudin masih aktif
di lingkungan sekitarnya dengan memberikan bimbingan belajar gratis. Dia
juga menjadi penyiar di Radio Silaturahim (Rasil), salah satu radio
dakwah di kampung itu, setiap Sabtu.
Kini Wahyudin sudah
menjalani sidang skripsi. Rencananya dia akan diwisuda Desember 2013.
Meski begitu, masih ada cita-cita lainnya yang ingin diwujudkan. Dia
berencana melanjutkan kuliahnya ke jenjang S2. "Saya ingin konsentrasi
soal perpajakan, sesuai skripsi yang saya buat. Ke depannya, saya juga
pengen jadi pengusaha. Saya ingin memberi motivasi bagi orang lain,
bahwa pemulung juga bisa berkarya," tutur mahasiswa yang memilih judul
Pengaruh Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah Terhadap Pendapatan Asli
Daerah Kota Bekasi untuk skripsinya itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar